November 20, 2012

Mata Terbuka, Hati Tertutup

Belajar, salah satu nature manusia yang tidak pernah berkesudahan. Til we die.

Banyak sekali materi pembelajaran yang ada disekeliling, baik yang menyentuh langsung diri kita ataupun pengalaman yang dialami manusia lain.

Peka. Itu saja modalnya. Peka pun perlu belajar dan latihan yang tidak gampang and tidak bisa langsung advance. Peka pun harus bisa atur kadar nya, tidak kelebihan dan tidak kekurangan. Harus bisa milih, yang mana layak dipekain dan yang mana cukup saja (hadehh, bayanginnya aja ribet).

Tapi ternyata manfaat nya banyak banget loh dengan jadi 'sensitive expertise'. Kalau saja kita mau peka, kita dapat hadiah lebih 'dewasa' dibanding orang tua krn usia, atau bisa lebih 'cerdas' dari orang pintar yang makan bangku sekolahan.

Coba saja ambil dan baca 5 buku biografi orang-orang sukses di jagad ini, umumya mereka tidak 'dewasa' karena umur melainkan karena kaya pengalaman hidup. Dan mereka tidak 'cerdas' hanya karena bersekolah tinggi saja dibangku formal melainkan peka menyerap ilmu diluar sekolah. Belajar menjadi dewasa dan cerdas (a.k.a. bijaksana), berkat ilmu yang didapat dari kepekaan mereka terhadap apa saja yang terjadi di dekat mereka.

Level tertinggi manusia yang sensitive expertise adalah orang-orang yang seakan selalu lantang berkata dalam hatinya 'Come on, gimme another life lessons! So I can give this universe my other contributions, even only with quotes'. Dalam arti lain, mereka di level ini adalah orang-orang yang menunggu bahkan bersorak setiap ada tantangan hidup baru. Bukan malah tidak perduli, apalagi ngibrit menghindar.

Kepekaan diri juga tidak dicari dan dilatih di kampus-kampus elit, di perusahaan-perusahaan top yang sudah establish. Kepekaan diri dicari di lingkungan tidak nyaman (non comfort zone), di arena pesakitan, dan di ranah yang keras.

Beruntung orang-orang yang dilahirkan di keluarga berantakan atau broken home, beruntung mereka yang kebetulan menderita karena 'given'. Beruntung karena apa? Karena mereka diberi bekal ilmu melatih diri tanpa perlu mencari atau membayar SPP dari dikaruniai nya ilmu hidup yang dikasih Tuhan itu. Siapa sih bayi yang minta dilahirin di keluarga berantakan? Siapa juga yang minta di karuniai indera yang tidak lengkap alias cacat? Tapi apa karena alasan itu terus boleh dan wajar tumbuh jadi anak yang bermasalah, allowed to be drunk or drugs addict misalnya. Atau wajar jadi manusia yang memilih untuk tidak berprestasi dan dikasihani manusia lain yang lebih lengkap indera nya? Memangnya happy dilabelin 'wajar' sama masyarakat karena jadi 'sampah' nya bumi? Manusia-manusia sukses di buku biografi top, silahkan ditanya langsung aja. Mereka pasti jawab those questions dengan 'sorry ya, tidak lahir dari keluarga harmonis dan tidak lahir dengan fisik lengkap bukan berarti kita tidak bisa lebih dari manusia lainnya. We are the chosen, indeed'.

Balik lagi ke topik, belajar peka memang tidak mudah. Manalagi tuntutan zaman bikin fokus ke bagaimana hidup nyaman secara instan lagi, ckckck berat ngelawannya. Banyak calon dokter rela bayar mahal supaya praktek kerjanya tidak harus di daerah terpencil, banyak PNS-PNS baru yang juga bayar mahal supaya ditempatkan di kota-kota besar. Judulnya tidak mau susah deh, alias tidak penting buat mereka belajar peka. Ujung-ujungnya bukan berfikir bagaimana kasih kontribusi untuk lingkungan atau negara, how to marking this life and answering the question why we were born, tapi malah berfikir bagaimana caranya saya balik modal karena sudah keluar duit pas minta penempatan kerja yang kemarin itu. Bukannya kasih kontribusi dalam hidup malah jadinya 'nilep' uang rakyat atau nilep uang pasien dengan ngakalin penyakit yang sebenernya tidak perlu peralatan canggih dan over treatment. Pembodohan dengan memanfaatkan ilmu-ilmu formal. 'Mata terbuka, hati tertutup'.

Mata terbuka, hati tertutup itu diartikan berbeda-beda setiap individu. Saya sendiri mengartikan dari sisi keluarga misalnya ; adalah hubungan orangtua yang dekat dengan orang lain namun 'jauh' dengan anak sendiri. Hati tertutup biasanya karena ego berperan. Banyak kisah sinetron yang bercerita hubungan anak dan orangtua yang baru harmonis bertahun-tahun perang dingin atau bahkan berbaikan setelah salah satunya sudah diujung kematian. Ego seharusnya bisa ditekan dari awal konflik terjadi dengan belajar peka, sehingga tidak perlu menunggu sampai ajal barulah ego tersingkirkan. Belajar peka dapat melatih menyingkirkan ego yang tidak perlu. Orang yang tidak peka akan mudah disetir oleh ego. Tanpa melihat lagi tujuan kenapa kita itu ada dan dilahirkan didunia ini, ego merampas dan mengambil alih kendali otak dan pikiran kita. Sampai akhirnya kita hanya bisa berkata di penghujung nafas dengan penuh penyesalan "Maafkan sayang, hati saya ternyata tertutup selama ini". Kita meninggalkan dunia, tanpa bisa menikmati hidup berkeluarga, dan tanpa memberikan jejak besar bagi sekecil-kecilnya kehidupan.

What I'm trying to say here is, bahwa belajar peka sejak dini akan mengarahkan kita untuk tidak hanya belajar membuka mata saja, melainkan juga belajar membuka hati terhadap persoalan hidup yang akan selalu ada, yang tentu pada saat akhirnya 'naik kelas' akan menghantarkan kita menjadi seorang siswa yang belajar dari guru bernama 'persoalan'. Titel kelulusan yang didapat adalah M3, yaitu Manusia yang bermanfaat bagi manusia lain (Mmm). Bermanfaat terutama bagi sekumpulan manusia terdekat bernama; KELUARGA.
Mereka adalah orang-orang yang paling layak menerima hati kita, bukan ego kita.

Belajar peka, terbuka mata, terbuka hati.
Hadiah dunia akan menghampiri.

---

Penulis : calon sensitive expertise yang masih belajar berperang melawan negative ego.

Aneth Purbasari, Mmm. Wanna be ;P

No comments: