December 20, 2003

an email on 17.12.2003

Dear you,

I couldn't reach you yesterday so I decided to write to you. I guess you let your phone on the silent mode or something, or maybe not. Well, no big deal after all is it?

I would have been pleased to talk to you at least. I would have been even happier to see you of course but I guess it would have been…too much?

I do hope I did not freak you out yesterday night, really. I feel like I have been unable to control my personal envy to get closer to you and I shall apologize for this. You have definitely more "cold blood" than I have and I have to admire you for that. I have almost never been able to be "reasonable" when feelings come into play. I guess that even my last experience (the oneI told you about last night) did not even teach me how to deal with this after all. Either I am too much sensitive or maybe it is that I am somewhat immature in a sense. Could be this second option.

You really got a point yesterday when you told me that I was apparently very fast to fall in love with someone. You were obviously talking about your case without saying it. I did acquiesce on this 'cause I think you are right. However I do not "fall in love" with anybody neither. I do have my reasons. I do recognize when someone have feelings for me, and you do not even try to hide yours…

But it would be just a bit dumb to fall in love with someone because you can feel she likes you. I have been attracted to you since the first time and getting to know you did help me to develop these feelings.

I feel lucky about this in a way. I really wonder why I cannot even seduce someone in my country while some beautiful girl like you seem to be, indeed, seduced. By saying this I don't look for any pity from you, I just tell you things exactly how I feel them.

So many words to tell you things you already know hugh?

I am sorry. As you like to do sometimes, I needed to write this down and let you know about it. It is also because I couldn't talk to you today. I went through lot of thinking since you left…

I hope I did not act in a bad way yesterday. I wanted to see you again today as will want to see you tomorrow and so on. I only know that I will unfortunately have to leave on Saturday also and that I will have to wait for some time to have the chance to see you again. That is what makes all these feelings so….unreasonable… but that is certainly what makes them so strong also.

You apparently know how to deal with this kind of situation. I am less thoughtful and I just think that it is not fair and that I want to be able to let these feelings express themselves no wonder what comes in the following days, weeks and months. As I told you already I like to seize opportunities to be happy (for a moment) when it's possible (and I hell I was happy last night with you!). But I also know I am not showing you the respect you deserve while I am acting this.

I look forward to meet you on thursday night or on Friday night, or on both of them if you want to. You tell me Pink Panther! Ok?

Have a nice day,

*someone in France

January 20, 2003

Bagaimana menghadapi Orang-orang Dekat yang Mengecewakan ?

Yang paling sering mengecewakan mu pastilah orang-orang dekat kamu seperti orangtua, anak, isteri/suami, kakak/adik, ipar/saudara. Terhadap mereka, inginkanlah yang terbaik tetapi pasanglah sikap zero expectation (tuntutan nol). Artinya jika kamu berbuat baik jangan harapkan imbalan, apalagi menuntut balasan agar mereka berbuat setimpal. Jadi berbuat baiklah dengan tulus.

Terimakasih pun jangan harapkan. Sadarilah dunia ini memang bukan dunia yang adil. Ingatlah, para nabi pun selalu dilecehkan bahkan dihujat dan dikejar-kejar. Mereka pun tidak mampu menyenangkan semua orang. Bergembiralah bahwa kamu masih bisa memberi dan sanggup berbuat baik. Itu saja adalah sebuah kehormatan. Untuk menghibur kamu, ketahuilah bahwa Tuhan akan membalas kebaikan kamu berlipat ganda jika penerima kebaikan kamu itu tidak tahu berterimakasih.

Jika orang yang kamu baiki itu tahu berterimakasih dan kemudian membalas perbuatan baik kamu, jangan pula ditolak, tetapi terimalah sebagai bonus, dan karenanya bergembiralah dua kali.

Jika orang yang kamu baiki itu sudah keterlaluan, kamu tak sanggup lagi bersikap baik pada dia, maka jauhi sajalah dia. Putuskan saja hubungan dengan dia tanpa terjebak dalam kebencian dan dendam kesumat. Batasi diri, jaga jarak. Kalau kamu mampu, doakanlah orang itu. Jika hasil doa kamu tidak layak diterimanya, maka doa kamu akan kembali padamu. Jika tidak mampu mendoakannya, jangan pula mengutuknya, siapa tahu kutuk kamu bisa memakanmu. Serahkan saja agar keadilan Tuhan yang terjadi.

Kemudian, jangan memelihara karakter meminta, menuntut, dan mengemis dari orang lain untuk diri sendiri. Jika kamu harus meminta dan menuntut maka minimal itu demi kepentingan bersama, kalau bisa demi kepentingan dia yang kamu tuntut, tapi jangan pernah untuk diri sendiri.

Sebaliknya suburkanlah karakter memberi, membagi, dan berbagi dengan orang lain. Anggaplah bahwa kamu adalah wakil Tuhan untuk membagi-bagikan rezeki dan berkat-berkat surgawi. Tapi jangan terlalu ekstrim. Jangan sampai susu buat anak sendiri terputus gara-gara terlalu bersemangat membantu anak tetangga. Yang seperti itu bisa-bisa adalah bentuk kesombongan baru yang pada suatu saat akan berbalik mengecewakan kamu.

Penutup

Saya mau menutup tulisan ini dengan kisah dari bawah laut. Pada suatu hari seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengaduh pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek. Anakku, kata sang Ibu sambil bercucuran air mata, Tuhan tidak memberikan kita bangsa kerang sebuah tangan pun sehingga Ibu tak bisa menolongmu. Sakit sekali, aku tahu. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa pedih dan sakit yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat, kata Ibunya dengan sendu namun lembut.

Maka si anak kerang pun melakukan nasihat ibundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan bertahun-tahun. Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Makin lama mutiaranya makin besar. Rasa sakit menjadi terasa wajar. Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna. Dirinya kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada seribu ekor kerang lain yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.

Penderitaan membuat seekor kerang biasa menjadi kerang luar biasa. Kekecewaan dan penderitaan pun dapat mengubah orang biasa menjadi orang luar biasa. Jika Abraham Lincoln, Nelson Mandela, Ibu Teresa, Mahatma Gandhi, AH Nasution, Cacuk Sudarijanto, dan Kuntoro Mangkusubroto mampu melakukannya, saya yakin, kamu pun mampu melakukannya. Kamu sudah selesai membaca sampai di sini, itu tanda bahwa kamu sedang berjalan menuju status manusia luar biasa dan meninggalkan status manusia biasa.