January 26, 2012

Cuts of Glory

A Diamond was cutted countlessly to emerge its true beauty & shine.
It gains the highest score in human perspective, even though a diamond is a thing.
But sometimes, it does appreciated more than humans.
As charm and symbol of power & proud.

Marble is also a thing, but it simply squares, was only cutted in few. Perhaps that's why they belong at underneath of humans, as pads. Choosing to be as a diamond or a Marble, is like choosing what you wanna be in life.

Choose your existence in this life, wisely.
If being a diamond is possible, why only being a marble?
Why choose ordinary, if being glory is possible?

Let's celebrate life, as a DIAMOND.










Collaborated. 2012012.

January 23, 2012

Have A Mark

The greatest days in our life are ;
The day when we were born,
And the day when we know why we were born.

Let's create a MARK in this life. Now.

January 20, 2012

2012012

Heart is like music
When the beat feels so right,
we found singing and dancing with it.

Captured. Naturally.

January 17, 2012

Sanguin, Melankolis, Korelis dan Phlegmatis

Tiap saat kita berhadapan dengan bermacam-macam situasi. Terutama ketika berhubungan dengan orang lain.

Sebagai pemimpin, mengertikah kita bagaimana cara `membakar’ motivasi para pegawai kita? Sebagai ibu, kita sering bingung nggak habis pikir plus pusing oleh watak keras kepala anak-anak kita?! Tak jarang pula, sebagai suami kita terus-terusan bertengkar sama istri yang padahal juga kita sayangi dan cintai?Adakah `zat kimia’ tertentu atau pola tertentu yang mempengaruhi sifat, sikap dan reaksi kita dan merasa dalam menghadapi berbagai situasi… sehingga kita bisa lebih berdamai dan mengerti mengapa semua reaksi itu terjadi? Bukankah akan lebih nikmat hidup ini kalau kita satu sama lain saling memahami?

Florence Litteur, penulis buku terlaris “Personality Plus” menguraikan, ada empat pola watak dasar manusia. Kalau saja semua sudah kita pahami, kita akan sangat terbantu sekali dalam berhubungan dengan orang lain.Kita akan jadi mengerti mengapa suami kita tiba-tiba marah sekali ketika meja kerjanya yang berantakan kita atur rapi. Kita juga akan mudah memahami mengapa pegawai kita gampang sekali berjanji… dan hebatnya dengan mudah pula ia melupakannya, “Oh ya, saya lupa”katanya sambil tertawa santai. Kita juga akan mudah mengerti mengapa istri kita nggak mau dengar sedikitpun pendapat kita, tak mau kalah,cenderung mempertahankan diri, selalu merasa benar dengan pendapatnya dan makin sengit bertengkar kalau kita mau coba-coba untuk mengalahkannya.

Yang pertama, kata Florence adalah golongan Sanguinis, “Yang Populer”. Mereka ini cenderung ingin populer, ingin disenangi oleh orang lain. Hidupnya penuh dengan bunga warna-warni. Mereka senangsekali bicara tanpa bisa dihentikan. Gejolak emosinya bergelombang dan transparan. Pada suatu saat ia berteriak kegirangan, dan beberapa saat kemudian ia bisa jadi menangis tersedu-sedu.

Namun orang-orang sanguinis ini sedikit agak pelupa, sulit berkonsentrasi, cenderung berpikir `pendek’, dan hidupnya serba tak beratur. Jika suatu kali anda lihat meja kerja pegawai anda cenderung berantakan, agaknya bisa jadi ia sanguinis. Kemungkinan besar ia pun kurang mampu berdisiplin dengan waktu, sering lupa pada janji apalagi bikin planning/rencana. Namun kalau disuruh melakukan sesuatu, ia akan dengan cepat mengiyakannya dan terlihat sepertinya betul-betul hal itu akan ia lakukan. Dengan semangat sekali ia ingin buktikan bahwa ia bisa dan akan segera melakukannya. Tapi percayalah, beberapa hari kemudian ia tak lakukan apapun juga.

Lain lagi dengan tipe kedua, golongan melankolis, “Yang Sempurna”. Agak berseberangan dengan sang sanguinis. Cenderung serba teratur, rapi, terjadwal, tersusun sesuai pola. Umumnya mereka ini suka dengan fakta-fakta, data-data, angka-angka dan sering sekali memikirkan segalanya secara mendalam. Dalam sebuah pertemuan, orang sanguinis selalu saja mendominasi pembicaraan, namun orang melankolis cenderung menganalisa, memikirkan, mempertimbangkan, lalu kalau bicara pastilah apa yang ia katakan betul-betul hasil yang ia pikirkan secara mendalam sekali.

Orang melankolis selalu ingin serba sempurna. Segala sesuatu ingin teratur. Karena itu jangan heran jika balita anda yang `melankoli’ tak `kan bisa tidur hanya gara-gara selimut yang membentangi tubuhnya belum tertata rapi. Dan jangan pula coba-coba mengubah isi lemari yang telah disusun istri `melankolis’ anda, sebab betul-betul ia tata-apik sekali, sehingga warnanya, jenisnya, klasifikasi pemakaiannya sudah ia perhitungkan dengan rapi. Kalau perlu ia tuliskan satu per satu tata letak setiap jenis pakaian tersebut. Ia akan dongkol sekali kalau susunan itu tiba-tiba jadi lain.

Ketiga, manusia Koleris, “Yang Kuat”. Mereka ini suka sekali mengatur orang, suka tunjuk-tunjuk atau perintah-perintah orang. Ia tak ingin ada penonton dalam aktivitasnya. Bahkan tamu pun bisa sajaia `suruh’ melalukan sesuatu untuknya. Akibat sifatnya yang `bossy’ itu membuat banyak orang koleris tak punya banyak teman. Orang-orangberusaha menghindar, menjauh agar tak jadi `korban’ karakternya yang suka `ngatur’ dan tak mau kalah itu.

Orang koleris senang dengan tantangan, suka petualangan. Mereka punya rasa, “hanya saya yang bisa menyelesaikan segalanya; tanpa saya berantakan semua”. Karena itu mereka sangat “goal oriented”,tegas, kuat, cepat dan tangkas mengerjakan sesuatu. Baginya tak ada istilah tidak mungkin. Seorang wanita koleris, mau dan berani naik tebing, memanjat pohon, bertarung ataupun memimpin peperangan. Kalau ia sudah kobarkan semangat “ya pasti jadi…” maka hampir dapat dipastikan apa yang akan ia lakukan akan tercapai seperti yang ia katakan. Sebab ia tak mudah menyerah, tak mudah pula mengalah.

Hal ini berbeda sekali dengan jenis keempat, sang Phlegmatis “Cinta Damai”. Kelompok ini tak suka terjadi konflik, karena itu disuruh apa saja ia mau lakukan, sekalipun ia sendiri nggak suka. Baginya kedamaian adalah segala-galanya. Jika timbul masalah atau pertengkaran, ia akan berusaha mencari solusi yang damai tanpa timbul pertengkaran. Ia mau merugi sedikit atau rela sakit, asalkan masalahnya nggak terus berkepanjangan.

Kaum phlegmatis kurang bersemangat, kurang teratur dan serba dingin. Cenderung diam, kalem, dan kalau memecahkan masalah umumnya sangat menyenangkan. Dengan sabar ia mau jadi pendengar yang baik, tapi kalau disuruh untuk mengambil keputusan ia akan terus menunda-nunda. Kalau anda lihat tiba-tiba ada sekelompok orang berkerumun mengelilingi satu orang yang asyik bicara terus, maka pastilah parapendengar yang berkerumun itu orang-orang phlegmatis. Sedang yang bicara tentu saja sang Sanguinis.

Kadang sedikit serba salah berurusan dengan para phlegmatis ini. Ibarat keledai, “kalau didorong ngambek, tapi kalau dibiarin nggak jalan”. Jadi kalau anda punya staf atau pegawai phlegmatis, andaharus rajin memotivasinya sampai ia termotivasi sendiri oleh dirinya.

Mencoba Mengerti Orang Lain

Nah, sekarang anda masuk golongan mana? Coba amati istri, suami atau anak-anak anda, mereka golongan apa? Jangan-jangan anda sekarang mulai mengerti mengapa suami-istri-anak-rekan anda bertingkahlaku “seperti itu” selama ini. Dan anda pun akan tertawa sendiri mengingat-ingat berbagai perilaku dan kejadian selama ini.

Ya, tapi apakah persis begitu? Tentu saja tidak. Florence Litteur, berdasarkan penelitiannya bertahun-tahun telah melihat bahwa ternyata keempat watak itu pada dasarnya juga dimiliki setiap orang. Yang beda hanyalah `kadar’nya. Oleh sebab itu muncullah beberapa kombinasi watak manusia.

Ada orang yang tergolong Koleris Sanguinis. Artinya kedua watak itu dominan sekali dalam mempengaruhi cara kerja dan pola hubungannya dengan orang lain. Di sekitar kita banyak sekali orang-orang koleris sanguinis ini. Ia suka mengatur-atur orang, tapi juga senang bicara (dan mudah juga jadi pelupa).

Ada pula golongan Koleris Melankolik. Mungkin anda akan kurang suka bergaul dengan dia. Bicaranya dingin, kalem, baku, suka mengatur, tak mau kalah dan terasa kadang menyakitkan (walaupun sebetulnya iatak bermaksud begitu). Setiap jawaban anda selalu ia kejar sampai mendalam. Sehingga kadang serasa diintrogasi, sebab memang ia ingin sempurna, tahu secara lengkap dan agak dingin. Menghadapi orang koleris melankolik, anda harus fahami saja sifatnya yang memang `begitu’ dan tingkatkan kesabaran anda. Yang penting sekarang anda tahu, bahwa ia sebetulnya juga baik, namun tampak di permukaan kadang kurang simpatik, itu saja.

Lain lagi dengan kaum Phlegmatis Melankolik. Pembawaannya diam, tenang, tapi ingat… semua yang anda katakan, akan ia pikirkan, ia analisa. Lalu saat mengambil keputusan pastilah keputusannya berdasarkan perenungan yang mendalam dan ia pikirkan matang-matang.

Banyak lagi tentunya kombinasi-kombinasi yang ada pada tiap manusia. Akan tetapi yang penting adalah bagaimana memanfaatkannya dalam berbagai aktivitas hidup kita. Jika suami istri saling mengerti sifat dan watak ini, mereka akan cenderung berusaha `memaafkan’ pasangannya. Lalu berusaha untuk menyikapinya secara bijaksana.

Begitu pula saat menerima calon pegawai. Untuk bidang-bidang yang membutuhkan tingkat ketelitian dan keteraturan yang tinggi, jauh lebih baik anda tempatkan orang-orang yang melankolik sempurna. Sedang di bagian promosi, iklan, resepsionis, MC, humas, wiraniaga, tentu jauh lebih tepat anda tempatkan orang-orang sanguinis. Lalu jangan posisikan orang-orang phlegmatis di bagian penagihan ataupun penjualan. Hasilnya pasti akan amat mengecewakan.

Begitulah, manusia memang amat beragam. Muncul sedikit tanda tanya, diantara semua watak itu, mana yang paling baik? Jawabannya, menurut Florence, tak ada yang paling baik. Semuanya baik. Tanpa orangsanguinis, dunia ini akan terasa sepi. Tanpa orang melankoli, mungkin tak ada kemajuan di bidang riset, keilmuan dan budaya. Tanpa kaum koleris, dunia ini akan berantakan tanpa arah dan tujuan. Tanpa sang phlegmatis, tiada orang bijak yang mampu mendamaikan dunia.

Yang penting bukan mana yang terbaik. Sebab kita semua bisa mengasah keterampilan kita berhubungan dengan orang lain (interpersonal skill). Seorang yang ahli dalam berurusan dengan orang lain, ia akan mudah beradaptasi dengan berbagai watak itu. Ia tahu bagaimana menghadapi sifat pelupa dan watak acaknya kaum sanguinis, misalnya dengan memintanya untuk selalu buat rencana dan memintanya melakukansegera. Ia jago memanas-manasi (menantang) potensi orang koleris mencapai goal-nya, atau `membakar’ sang phlegmatis agar segera bertindak saat itu juga.”Inilah seninya”, kata Florence “dalam berinteraksi dengan orang lain”. Tentu saja awalnya adalah, “Anda dulu yang harus berubah”.

Belajarlah jadi pengamat tingkah laku manusia… (lalu tertawalah)!

---
Dari berbagai sumber.

January 13, 2012

Egoism without Wars

Steve Job said :
You can't connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards.
So you have to trust that the dots will somehow connect in your future.
You have to trust in something - your gut, destiny, life, karma, whatever.
This approach has never let me down, and it has made all the difference in my life.

Egoisme. Satu kata yang sarat dengan konflik.
Dibanyak kepala, kata tersebut juga cenderung diartikan negatif.
Apa iya selalu begitu?

Let's try to connecting the dots, backwards.
Ingatlah suatu tindakan (yg menurut kita) egois yang pernah dilakukan oleh kita ataupun orang tua kita, apa benar tidak pernah ada satu egoisme yang terjadi di titik masa lampau, yang berbuah positif di titik masa kini?
Entah itu hasil positif dalam bentuk sesuatu ataupun dalam bentuk karakter.
Kalau jawabannya tidak. Tunggu saja! (ehehee maksa)

Contoh yg simple bgt, kalau aja jaman dulu para ayah tidak egois memaksakan kehendak menikah dengan para ibu kita yg notabene dilarang ortunya karena dianggap salah pilih. So pasti gak akan ada anak-anak sekarang yang mandiri dan berkarakter mengagumkan. Dannn... Bisa jadi juga gak akan ada saya yang rajin-rajin mau nulis blog ini... ;)

Sooner or later. The questions of ;
Why we born?
Why we live with all these attachments?
Why i lost this and that?
Why i met her, him, you, you and you?
Will be answered.

Dulu saya sempat tidak ingin memilih suatu jalan hidup jika didepan sana tuh... gak ada titik nya, gak keliatan ujungnya. Full of blindly risks? Ogah.
Mending belok sini nih, yang ujungnya keliatan, walaupun ketauan bakalan biasa-biasa aja tuh si titik. Gak usah ngikutin insting, yang penting gak nyasar. Gitu prinsipnya.

Dulu marah banget sama orangtua yang pisah karena egois mereka masing-masing gak ketemu. Tapi sekarang, hal itu seakan membuat saya belajar banyak. BANYAK. Thanks to their Egoism :)

Saya jadi pernah ngerasain yang namanya sedih tingkat dewa, dan hal itulah yang membuat sayapun 'kenal' yang namanya bahagia tingkat dewa-nya dewa. Paham artinya rasa terpuruk, dan ngeh pula artinya harus bangkit. Ada baiknya jg kan hasil dari Egois?  :)

Sekarang, jika belum ada jawaban pasti tentang ujung jalanan yang kita instingkan untuk dipilih hari ini. It's fine lah.
Titik didepan bukan untuk dilihat, dikeker dan dilempar jangkar. Tidak ada titik didepan sana, yang ada hanyalah titik-titik dibelakang yang sudah kita lewati dan siap untuk disambungkan dengan titik sekarang atau titik yang tiba-tiba kita injak nanti, untuk dilewati lagi seterusnya.

Jika didepan kita cuma ada dua nama jalan : Jl. Egois dan Jl. Mengalah
Ketika Jl. Egois belum kelihatan titik ujungnya,
Dan selama Jl. Mengalah dipercaya tidak akan membawa kita kemana-mana

Pilihlah jalan egois, pastikan dengan tetap memperbanyak menebarkan kebaikan selama berjalan. Niscaya titik -titik dibelakang kita akan dipertemukan dengan titik ditengah jalan nanti.

Egoisme, selama tidak dengan peperangan, akan berbuah kebaikan.


-----
'Every human of action has a strong dose of egoism, pride, hardness, and cunning. But all those things will be regarded as high qualities if he/she can make them the means to achieve great ends'
Giorgos Seferis

January 10, 2012

Berpura-puralah dengan Sungguh-sungguh

Story of Teddy P Yuliawan
The Founder of NLP Indonesia

---


Sungguh saya tak habis pikir, bagaimana seorang Ibu atau pengasuh bisa begitu kreatif mencari berbagai cara untuk membujuk seorang anak untuk makan. Dimulai dari berbagai bujukan hingga permainan, yang entah bagaimana, seketika suapan demi suapan masuk tanpa disadari. Ya, seorang Ibu bisa begitu luwes nan lentur demi memastikan sang anak makan dengan sukarela.

Dari jutaan cara, salah satu yang begitu takjub saya tonton adalah bermain drama. Tak jarang, saya pun turut ambil peran, entah sebagai orang yang sedang kelaparan, atau hewan yang juga sedang menginginkan makanan anak saya.
“Ayah mau juga lapar ya, Yah? Ini, Yah!” ujar istri saya.
Saya pun mulai tersenyum lebar dan membuka mulut saya. Yang seketika ditutup oleh anak saya, sebab tak ingin makanan kesukaannya saya santap.
“Hai Ayah harimau! Apakah kamu kelaparan?” tanya istri saya lain waktu.
Saya pun segera menyahut, “Ya! Aku sangat lapar!” sembari membuka mulut saya lebar-lebar.
Anak saya pun bersegera menghampiri sendok yang telah ia siapkan, dan menyantapnya.
“O, putri harimau rupanya lebih kelaparan. Ini, silakan,” sahut istri saya.

Begitu pun pada kesempatan lain, ketika anak saya sedang tak mau saya ajak bercengkrama, sementara saya begitu kangen. Istri saya pun menyarankan, “Mainin donk, drama Raja dan Putri.”
Aha! Saya pun segera memainkannya, yang seketika segera memicu gairah bermain anak saya. Sukses euy!

Ya, entah sudah berapa drama dimainkan oleh anak saya, yang menyelamatkannya dari kelaparan. Bagi seorang anak, hidup adalah permainan itu sendiri. Aktivitas krusial macam makan, memang masih jauh dari penting, maka ia harus dibuat menyenangkan.
Ah! Menyenangkan? Mengapa kata itu begitu menggelitik dalam pikiran saya. Seketika ingatan saya pun melayang pada sebuah ajaran yang mengatakan bahwa, “Hidup hanyalah sekedar permainan dan senda gurau belaka.”

Cukup lama sejak pertama kali saya mendengar ajaran ini. Yang ketika saya mulai memahami maknanya, begitu banyak problematika hidup tak hanya sirna, melainkan juga berubah menjadi mutiara hikmah nan indah.
Ingatan saya pun melayang pada sebuah presuposisi NLP yang begitu terkenal, bahwa peta bukanlah wilayah yang sebenarnya, namun manusia merespon terhadap peta yang ia miliki, bukan pada wilayahnya. Persepsi bukanlah realita, dan Anda juga saya, merespon berdasarkan persepsi yang kita miliki, bukan pada realita yang dihadapi.

Maka apakah sebuah kehilangan pekerjaan sebuah musibah atau anugerah, adalah urusan persepsi yang kita gunakan untuk memaknainya. Saat film kehinaan yang diputar dalam pikiran, maka rasa terhina dan rendah diri yang muncul. Sementara saat film keberuntungan yang dipasang, semangat untuk mencari penghidupan yang lebih baik lah yang meruah.

Hidup hanyalah permainan dan senda gurau belaka. Betapa kalimat bijak ini begitu agung mengajarkan bahwa kita bisa memilih persepsi yang kita gunakan. Bahwa kebenaran tidak hanya satu macam, melainkan memiliki berbagai rupa yang bebas kita pilih sendiri. Dan saat begitu banyak alternatif masih terasa sulit untuk kita terima, maka bermainlah.
Ya, bermainlah. Berpura-puralah. Dengan penuh kesungguhan.

Saya teringat masa-masa awal saya mempelajari NLP. Bahwa sebagai sebuah ilmu modeling, NLP mengajarkan kita untuk tak perlu repot-repot menciptakan hal sesuatu yang baru. Tak perlu reinvent the wheel, istilah kerennya. Sebab begitu banyak hal sudah tersedia, kita hanya perlu mengambil ekstraknya, guna diterapkan dalam konteks yang lain, sesuai dengan kebutuhan kita.

Bagaimana caranya?
Setidaknya ada 3: pengalaman masa lalu, orang lain sebagai model, atau diri sendiri di masa depan.
Maka jika saya memerlukan sebuah perasaan rileks untuk menikmati waktu bersama keluarga di rumah, saya dapat melakukan 3 hal: mengakses perasaan rileks yang pernah atau biasa saya rasakan, meniru apa yang dilakukan orang lain yang menurut saya mampu merasa rileks, atau—jika saya sulit mengakses dari keduanya—saya pun mereka-reka seperti apa jadinya jika saya sudah bisa merasakan rileks persis seperti yang ingin saya rasakan.

Dari ketiga cara tersebut, cara ketiga lah yang bagi saya begitu unik. Betapa tidak? Sebab untuk memancingnya, para NLPers biasa berkata, “Berpura-puralah semuanya sudah terjadi. Apa yang terbayang, terdengar, terasa?”
Aha! Lagi-lagi soal pura-pura. Betapa kata ini, yang dulu seolah memiliki konotasi negatif, seketika menjadi sesuatu yang amat menggoda untuk dilakukan.

Ya. Pura-pura adalah sebuah kemampuan ajaib, yang mungkin hanya dimiliki oleh manusia. Sebuah keahlian yang membuka potensi imajinasi kita yang tak terbatas, sebab ia memang tidak terikat dengan realita. Satu kondisi yang tidak dimiliki oleh 2 cara modeling yang lain. Mengakses masa lalu, maka kita pun terbingkai olah apa yang pernah kita alami. Pun memodel orang lain, yang membuat kita terkotak oleh apa yang kita ketahui tentang orang tersebut.
Maka kata pura-pura pun seketika menjadi kata favorit saya. Ingin pandai? Berpura-puralah. Ingin rajin beribadah? Berpura-puralah. Ingin kaya? Berpura-puralah.

Ah, beberapa di antara Anda barangkali berkata, “Betapa aneh? Bukankah itu sebuah kebohongan?”
Oh, maaf. Ada hal yang belum saya jelaskan. Kata pura-pura, berbingkai NLP, memiliki definisi yang berbeda dengan yang dipahami banyak orang awam pada umumnya. Saat saya ingin pandai dalam satu bidang, misalnya, maka saya harus sepenuhnya berpura-pura untuk menjadi pandai dalam hal tersebut, lalu bertanya, “Apa saja sih yang saya lakukan, sehingga bisa mencapai tingkat kepandaian ini?” Dan saya pun begitu sering dikejutkan oleh jutaan lompatan ide yang bermunculan dalam benak saya.

Bagaimana jika lompatan ide itu tak jua muncul?
Maka saya masih kurang canggih dalam berpura-pura. Saya mungkin perlu mencari referensi yang lebih detil akan keahlian tersebut, dan betul-betul berpura-pura sehingga memahami betul kondisinya. Termasuk belajar kepada ahlinya.
Maka pura-pura, pun harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Ingin kaya? Berpura-puralah kaya. Pikir dan rasakan diri ini sudah mencapai tingkat kekayaan yang diinginkan, lalu bertanya, “Apa saja yang sudah saya lakukan, hingga mencapai tingkat kekayaan ini?” Saya pun kemudian menyadari bahwa orang kaya, adalah orang yang paling sedikit membutuhkan, dan karenanya paling banyak memberi. Anehnya, semakin banyak memberi, semakin banyak ia menerima. Orang kaya juga adalah orang yang tidak pernah fokus pada kekayaan itu sendiri, melainkan fokus pada sumber-sumber kekayaan, yakni ide-ide brilian dan jaringan yang luas.

Ingin rajin beribadah? Berpura-puralah dengan memikir-rasakan diri begitu nikmat menjalankan ibadah, lalu gelitiklah dengan pertanyaan, “Apa saja yang sudah saya lalui hingga mencapai tingkat kenikmatan seperti ini?” Dan saya pun terkejut saat tiba-tiba menyadari bahwa mereka yang rajin beribadah selalu memulai dari ibadah-ibadah sederhana yang amat ringan, sehingga dapat dilakukan dengan konsisten. Karena ringan, ia menjadi nikmat. Karena nikmat, ia pun tergerak untuk menambahnya.
Dan seterusnya.

Menulis hingga baris ini, saya teringat sebuah kisah dari seorang begawan kepemimpinan, Stephen R. Covey. Dalam bukunya, beliau pernah menulis sebuah curhat dari seorang sahabat akan perasaan cinta yang mulai luntur antara sang sahabat dengan istrinya. Menjawab pertanyaan, “Bagaimana ya solusi atas hal ini?” Covey pun berkata, “Cintai dia.”
“Loh, maksudmu?” tanya sang sahabat. “Saya sudah katakan bahwa cinta kami telah hilang.”
“Ya, justru karena itu.Cintai lah dia,” tegas Covey kembali.
Baru belakangan saya memahami, bahwa barangkali Covey pun, disadari atau tidak, telah menerapkan sebuah prinsip yang sama dengan yang diajarkan oleh NLP. Dalam bahasan artikel ini, berpura-puralah mencintai, dengan sungguh-sungguh. Sebab dalam kepura-puraan nan sungguh-sungguh itulah, pikiran dan perasaan ini melayang ke sebuah kondisi imajinatif tanpa batas, yang akan menelurkan berbagai cara baru untuk mencintai.

Seketika sebuah ingatan pun menelusup dalam pikiran saya. Sebuah kalimat yang mengatakan, “Dalam beberapa situasi, pikiran manusia tidak bisa membedakan mana yang khayalan, dan mana yang kenyataan.” Dan sebab pikiran dan tubuh adalah satu kesatuan nan tak terpisahkan, maka apa yang terjadi dalam tubuh, pastilah menstimulus reaksi pada pikiran. Saat tubuh berpura-pura, dengan sungguh-sungguh, untuk berperilaku layaknya seorang yang amat mencintai, seketika pikiran pun merespon dengan memunculkan berbagai hal yang membuat rasa cinta semakin berkobar.

Ah, saya pun jadi paham, mengapa skenario drama menjadi begitu ampuh dalam membujuk anak saya makan dan bermain. Sebab drama menjadikan kegiatan makan selayaknya khayalan nan menyenangkan. Ia menembus batas-batas pengalaman makan yang kurang menyenangkan, dan menjadikannya sebuah kenikmatan.

Maka sebuah tanya mungkin menyelinap dalam hati Anda, “Apa saja kepura-puraan, dengan sungguh-sungguh, yang akan saya lakukan, sekarang?”
----