Karakter perempuan Bali sering digambarkan secara strereotif, sebagai figur manusia ber-etos kerja tinggi, ulet, mandiri, dan memiliki bakti yang tinggi pada keluarga. Tidak ada masalah bagi perempuan Bali untuk mengembangkan diri sebagai seorang profesional di bidang karir yang digelutinya dan didedikasikan untuk keluarga.
Perempuan memainkan lakon yang multidimensi dan multijender. Perempuan berperan sekaligus sebagai pekerja, anggota keluarga dan anggota sosial, serta sebagai penyelenggara praktik keagamaan. Hampir bisa dipastikan, praktik agama Hindu adat Bali digerakkan oleh mayoritas kaum perempuan. Namun seringkali beban berat yang disandang sebagian besar kaum perempuan Bali ini tidak sepadan dengan hak-hak yang mereka dapatkan.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan, seperti apa ideologi patriarki bekerja dalam keluarga Hindu adat Bali? Bukankan secara kultural perempuan Bali relatif memiliki kemandirian dan kebebasan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan, lalu apa yang menyebabkan kemandirian ini justru secara paradoksal tidak menyentuh rasa keadilan terhadap hak-hak hidup kaum perempuan Bali? Hak-hak mana yang telah tercerabut dari diri kaum perempuan Bali?
Purusa, Sang Pewaris Dalam Keluarga Hindu Adat Bali
Dalam realitas, sebagian besar keluarga, apalagi yang beragama Hindu adat Bali, berharap memiliki anak laki-laki. Jika kita bertanya lebih lanjut, untuk apa memiliki anak lelaki? Maka para orang tua akan menjawab, untuk dijadikan purusa, pewaris, pelanjut garis silsilah atau garis keturunan. Atau, untuk menggantikan posisi mereka sebagai anggota komunitas (banjar) jika mereka tua. Lagi pula, menurut mereka, sangkep atau rapat di banjar biasanya menghadirkan para kepala keluarga yang berjenis kelamin laki-laki.
Padahal, faktanya, dalam relasi sosial di level komunitas, banjar mengakui warganya yang berstatus menikah terdiri dari ‘warga lanang’ (kelompok laki-laki, atau kepala keluarga) dan ‘warga istri’ (kelompok perempuan). Sementara, anggota yang belum menikah dimasukkan dalam sekaa teruna teruni (karang taruna). Hanya saja, peran politik laki-laki dan perempuan di banjar memang berbeda.
Kelompok laki-laki mengambil peran dalam pembuatan keputusan politik yang kemudian dilaksanakan oleh anggota banjar. Sedangkan peran perempuan lebih banyak mengambil porsi sebagai pelaksana kegiatan. Kalaupun kelompok perempuan mengadakan rapat, itu pun ditujukan sebagai perpanjangan tangan perintah untuk melaksanakan agenda yang diputuskan oleh pihak penguasa atau pemerintah, seperti posyandu, senam, dan arisan PKK.
Anak lelaki mendapat keistimewaan (privilege) dalam keluarga adat Bali khususnya dalam pewarisan konon karena kapasitas-kapasitas yang dijalani di dalam relasi keluarga dan sosialnya. Peran lelaki Bali dalam adat menjadi penting dalam kapasitasnya, seperti mengadakan ‘sangkep’, yaitu rapat dalam kelompoknya, menentukan seorang pemimpin, pelaksana pemilu di banjar, membuat keputusan jadwal ritual dan adat keagamaan, ‘mébat’ membuat ragam kuliner untuk pesta sebagai bagian ritual upacara, ‘megambel’ bermain musik, menyelenggarakan kremasi bagi keluarga yang meninggal dan ‘negen wadah’ yaitu memanggul jenasah keluarga dan warga pada saat kematian.
Sesungguhnya, hampir semua peran ini dapat dilakukan perempuan. Termasuk megambel untuk perlombaan antarbanjar juga melibatkan peran perempuan. Sesungguhnya, ini menjadi beban bagi perempuan karena mengambil waktu tambahan (biasanya dilakukan pukul 8-11 malam). Dan, ketidakhadiran mereka dalam mendukung program penguasa banjar atau pemerintah ini dapat dikenakan ‘dosa’ atau denda oleh pengelola kegiatan. Kecuali peran yang terakhir, mungkin akan dicarikan solusinya.
Jika pertanyaan makin meluas, lantas akan diapakan anak perempuan yang lahir dalam keluarga mereka? Paling banter jawaban yang memuaskan: anak perempuan itu akan dijadikan ‘bungan natah’ alias ‘kembang di halaman rumah’. Konotasi ini bisa bermakna ganda, anak perempuan semata-mata sebagai aksesoris atau pelengkap, jenis mahluk berkelamin perempuan yang terberi dalam keluarga. Atau perempuan itu dipersiapkan sebagai sang penjaga tradisi dan ritual adat istiadat dengan segala konsekuensinya.
Sang Bungan Natah inilah yang diharapkan melayani kepentingan keluarga dan kaum purusa di rumah-rumah mereka. Perempuan Bali diberikan kesempatan belajar dan bekerja semata-mata ditujukan untuk melayani kepentingan para purusa. Hasil kerja mereka pun digiring untuk memenuhi kepentingan keluarga. Sehingga meskipun perempuan Bali muncul sebagai pekerja keras, sebagian besar dari mereka tetaplah kelompok yang tak berdaya dan dimiskinkan secara politis. “Sayang-sayang kendang” merupakan ekspresi untuk menyatakan keberadaan perempuan Bali. Dipuji karena kemampuan kerjanya yang luar biasa namun miskin penghargaan karena kurang dihargai hasil kerjanya. Inilah ironi yang dialami sebagian besar perempuan Bali.
Pradana yang tidak Sempurna
Perempuan sering disimbolkan sebagai pradana atau feminitas (lembut, memelihara). Perempuan Bali dituntut menjadi figur pradana yang sempurna. Perempuan diakui keberadaannya ketika ia mampu menjadi seorang istri, ibu yang melahirkan anak laki-laki. Jika ia tidak bisa melakukan kedua hal ini, maka prestasi dan kontribusinya dalam keluarga dan sosial tidak akan mendapat penghargaan yang pantas.
Ada tiga katagori perempuan yang dianggap tidak sempurna di Bali, yakni, satu, perempuan yang tidak menikah, kedua, yang tidak punya keturunan, dan ketiga, yang tidak memiliki keturunan laki-laki.
Perempuan yang tidak menikah diejek ‘daha tua’ atau perawan tua. Keberadaan mereka menjadi menarik karena sering sekali ketika perempuan ini masih berusia muda, eksistensinya cenderung dipertahankan dalam keluarga. Kemampuannya secara finansial dibutuhkan untuk mendukung ekonomi keluarga. Sayangnya, ketika beranjak tua dan tidak memiliki ‘sekaya’ atau harta benda, anggota keluarga akan mencoba menyingkirkannya karena menganggapnya sebagai beban keluarga. Kekerasan dalam ranah keluarga seperti ini seringkali ditutup-tutupi dengan membawa para daha tua ke panti-panti jompo di usia senja. Beberapa dari para daha tua ini ada juga yang dipertahankan di rumah jika sang perempuan ini dinilai cukup kuat secara finansial. Kelak jika dia mati, hartanya bisa dinikmati oleh anggota keluarga lainnya.
Kedua, perempuan yang menikah tetapi tidak memiliki anak, juga tidak sempurna. Ia disebut baki (wandu), Sang Mandul. Padahal dalam kekinian, kemandulan tidak melulu dikarenakan masalah dari perempuan, lelaki juga bisa mandul. Tetapi siapa yang perduli? Jika suaminya meninggal lebih dahulu, keluarga sang suami akan berusaha menyingkirkan mereka dengan berbagai strategi.
Strategi pertama adalah dengan mengembalikan si perempuan kembali ke rumah asalnya dengan istilah ”mulih bajang”. Atau, dengan cara bermartabat yakni, membawa perempuan itu ke ‘lingkungan yang lebih baik’ seperti ke panti jompo. Strategi ini dilakukan untuk mengurangi beban ekonomi dan tanggung jawab, juga untuk mengalihkan kepemilikan atau warisan (dari perkawinannya) dari tangan perempuan ini kepada pihak-pihak keluarga suami secara samar tetapi pasti.
Perempuan yang menikah, punya anak tetapi tidak melahirkan anak lelaki maka ia juga dituding tidak sempurna. Perempuan yang ‘hanya’ memiliki anak perempuan di Bali tidak jarang mendapat tekanan dari keluarga dan lingkungan sosial untuk melahirkan bayi laki-laki. Rahimnya dijadikan mesin pencetak bayi laki-laki. Namun jika mesin itu ‘gagal’ memproduksi laki-laki, maka para orang tua cenderung untuk menekan anak perempuannya untuk mencari sentana ketika anak gadisnya beranjak dewasa.
Orang tua ini akan melakukan tekanan-tekanan psikologis kepada para gadis di rumah mereka untuk mencari suami yang bersedia di-‘adopsi’, atau sentana. Mencari sentana juga menyesuaikan dengan status sosial keluarga dan ini tidak mudah. Terlebih, jika mereka dari keluarga yang berkasta harus mencari seorang lelaki yang berderajat setara.
Anak perempuannya hendak dikawinkan dengan lelaki yang mau menikah dengan cara Nyentana agar mereka bisa diterima sebagai keluarga yang sempurna. Sehingga, anak perempuannya secara adat bisa sah menjadi ‘trans-jender’ beralih peranan menjadi ‘lelaki, purusa’, menggantikan ayahnya dan suaminya yang berubah status menjadi ‘perempuan’ di rumah itu. Dengan demikian, eksistensi keluarga perempuan tetap dapat dipertahankan dalam silsilah keluarganya.
Tekanan ini kerap mengabaikan hak-hak anak untuk membuat keputusan atau menentukan sendiri pilihan hidupnya. Dalam usia yang sangat remaja Sang Anak memendam persoalan psikologis untuk mencari bakal suami seperti yang diharapkan orang tuanya. Jika mereka tidak mampu, maka niscaya keluarga lain seperti sepupu dan paman-paman mereka akan melakukan ekspansi kekuasaan untuk mengambil-alih pewarisan.
Anak gadis yang merasa tidak mampu mencari sentana ada yang nekat menikah tanpa izin keluarga, atau kawin lari. Atau, nekat married by accident (hamil sebelum menikah) agar mereka bisa hidup bersama dengan orang yang mereka cintai. Dan, ada juga yang menempuh cara fatalistik dengan selibat, tidak menikah untuk menjaga perasaan orang tua dan identitas keluarga dalam komunitas keluarga dan sosial. Inilah bentuk pengorbanan dan sekaligus bakti anak kepada orang tua.
Intervensi ideologi patriarki merasuk terlalu jauh dalam ranah privat. Ideologi patriarki bekerja dengan melakukan tekanan sosial. Mereka tidak saja menekan perempuan tetapi juga menekan lelaki feminis yang berpihak pada perempuan. Lelaki yang nyentana bisa jadi mendapat tekanan sosial karena perubahan status jender menjadi ‘perempuan’ dianggap rendah oleh keluarganya sendiri atau oleh lingkungannya yang baru.
Tampaknya konsep ini telah terdistorsi begitu jauh. Wacana transjender ini sesungguhnya tidak ada. Lelaki yang menikah dengan cara Nyentana sesungguhnya menjalankan kewajibannya sebagai kepala keluarga sama seperti keluarga lainnya. Hanya saja kewajiban itu tidak dilaksanakan di rumah keluarga batihnya, melainkan dilakukan pada keluarga istrinya. Lelaki inilah yang mewakili istrinya sebagai kepala keluarga dan menggunakan haknya di lingkungan di mana mereka tinggal.
Jika kemudian lelaki nyentana dilabelkan sebagai ‘perempuan’, atau di-istilahkan dengan ‘paid bangkung’ (diseret oleh babi betina) merupakan konotasi yang merendahkan yang ditujukan untuk pihak suami dan keluarganya, sesungguhnya ini bersifat politis. Asumsinya, pelabelan ini ditujukan untuk membatasi ruang gerak perempuan yang tidak memiliki saudara laki-laki agar pewarisan bisa diambil alih oleh pihak-pihak dari keluarga lain dalam klan mereka. Dan untuk membatasi keluarga lain dari klan, etnik yang berbeda untuk masuk dalam sistem pewarisan dalam sistem kekerabatan pihak perempuan.
Fatalnya, tidak jarang para suami yang melewati perkawinan dengan sistem nyentana ini terjebak pada wacana macho-isme, persoalan harga diri yang ditebar lingkungannya dan tidak jarang mempengaruhi relasi mereka dengan pihak keluarga istrinya. Pertengkaran hingga berbagai ragam kekerasan dalam rumah tangga bisa muncul begitu saja.
Sebaliknya, ada juga karakter ekstrem lelaki yang nyentana ini justru menunjukkan ‘kekuasaan’. Di tempat barunya, ia bertindak sebagai penindas baru bagi istri dan keluarganya. Lelaki ini cenderung bertingkah apatis misalnya, memilih untuk tidak bekerja, tidak melakukan apa pun dan menjadikan semua itu sebagai kewajiban istri dan keluarga barunya.
Ia memperlakukan perkawinannya sebagai pertukaran simbolik. Pertukaran bagi keajegan eksistensi keluarga perempuan dengan jaminan sosial bagi dirinya. Anak perempuan atau istri dari perkawinan ini mengalami kekerasan rangkap tiga. Pertama karena ia berjenis kelamin perempuan, kemudian ia mengalami tekanan keluarga dan tekanan sosial, dan terakhir kekerasan rumah tangga dari suami sendiri.
Padahal, dalam hukum adat Bali, persoalan carut marut perkawinan “nyentana” telah memiliki solusi dengan sistem pernikahan ‘Pade Gelahang’. Pihak keluarga lelaki dan pihak keluarga perempuan tidak perlu merasa kedudukan mereka lebih rendah satu dari yang lainnya. Pernikahan ini dirasakan lebih demokrastis, mengakui tanggung jawab dan hak anak yang sama dalam keluarga.
Namun, dalam praktik sosial sekali lagi, hukum seperti ini mengalami pergulatan di tengah ideologi yang mengaburkan eksistensi kesetaraan kedudukan perempuan dalam hukum adat Bali. Sementara pihak suami dan istri telah mencapai jalan tengah resolusi demokratis, justru keberadaan ini diperdebatkan oleh orang-orang yang ingin mempertahankan gaya machoisme-nya.
Akar dan Resolusi
Sesungguhnya, konsep purusa dan pradana dalam tataran wacana simbolik di Bali diakui dan ditempatkan secara adiluhung sebagai sifat kesimbangan hidup. Purusa dan pradana sepadan dengan yin dan yang, langit dan bumi, lelaki dan perempuan. Dualitas ini sesungguhnya ada untuk saling mengisi dan melengkapi, ditujukan untuk mencapai harmoni hidup.
Namun dalam praktiknya, konsep purusa telah terdistorsi, semata-mata sebagai hak pewarisan bagi kaum laki-laki tanpa disertai penjelasan mengenai tanggung jawabnya bagi pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Purusa atau maskulinitas (tegar, melindungi) ditafsir secara ngawur menjadi macho-isme (kasar, brutal) sebagai ajang unjuk kekuatan perebutan wilayah dan harta warisan. Siapa yang kuat itu yang berkuasa sebagaimana ideologi selalu melayani kepentingan kelompok dominan. Wacana keistimewaan pada anak lelaki didalihkan sebagai akibat tanggung jawabnya yang dominan dalam menjalankan adat istiadat keluarga, dan komunitas mereka. Padahal ini tidak sepenuhnya benar. Perempuan pun dalam praktik sosialnya melakukan hal yang sama.
Justru, peran perempuan Bali sangatlah besar dalam menjalankan roda keagamaan, memelihara adat istiadat Bali dari level keluarga hingga relasi sosial sangat besar. Hampir bisa dikatakan Agama Hindu adat Bali adalah agama yang bersifat sangat feminis. Praktik keagamaan dan ritual dikaryakan dengan melibatkan kerja-bakti kaum perempuan Bali. Tidak jarang segi finansial dari penyelenggaraan ritual adat juga berasal dari kantong pundi-pundi perempuan.
Pada tataran praksis, hak-hak perempuan tercerabuti oleh praktik ideologi patriarki yang men-subordinasi eksistensi perempuan justru dalam rumah-rumah tangga mereka. Ideologi ini bekerja dengan modus penipuan (dissimulation) dimana keberadaan perempuan seperti di-ingkari. Selain itu, eksistensi dan hak-hak perempuan dikaburkan atau disembunyikan melalui wacana praktik mengatasnamakan adat. Eksistensi perempuan dimarjinalisasi dalam permainan kepentingan politik keluarga dalam konteks pengambilan keputusan dan keadilan distribusi hak hidup bagi mereka. Basis materialisme yang merambah pemikiran masyarakat telah menjadikan pertarungan kata beralih pada ekspansi kekuasaan dan perebutan warisan.
Meskipun konon hukum adat Bali mengatur tentang pewarisan bagi kaum perempuannya, tetapi seringkali dalam praktiknya, distribusi hak itu tidak sampai di tangan perempuan. Resolusi untuk persoalan ini membutuhkan penguatan advokasi hukum. Penguatan ini dibutuhkan keluarga yang cemas karena tidak memiliki anak lelaki dan bagi anak perempuan yang ingin mengenal hak-hak sipilnya khususnya dalam masyarakat adat Bali.
Selain itu, hidup secara mandiri dan ketegasan sikap dari keluarga batih diperlukan untuk melindungi privasi dan properti keluarga mereka. Di masa depan, stereotip negatif tentang nyentana tidak akan menjadi persoalan lagi, ketika keluarga-keluarga Bali yang baru, berani keluar dari ketergantungannya dengan ikatan keluarga. Penguatan kesadaran tentang hak-hak mereka ditujukan untuk mempertegas kesetaraan peranan jender dalam ranah keluarga demi rasa keadilan dan kesejahteraan hidup bersama.
Source : Mahasiswa S3 Kajian Budaya UNUD-Bali